Slow Living – Generasi Z, atau yang kerap disebut sebagai “makhluk baru” dalam buku Generasi Z karya Stillman & Stilman (2018), memiliki karakter unik yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Ciri khas seperti figital (gabungan fisik dan digital), FOMO (fear of missing out), hustle culture, dan semangat DIY (do it yourself) menggambarkan bagaimana generasi ini beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Namun, di tengah segala akselerasi kehidupan yang mereka jalani, muncul pertanyaan: bisakah Generasi Z menjalani slow living?
Fenomena Fast Living di Kalangan Gen Z
Generasi Z cenderung menjalani gaya hidup yang disebut “fast living.” Mereka berlomba mengejar kesuksesan, baik dalam hal karier, pendidikan, maupun penampilan. Hustle culture menjadi norma baru di kalangan mereka, di mana bekerja keras tanpa henti demi mencapai tujuan dianggap sebagai kebanggaan.
Sayangnya, gaya hidup ini sering kali menimbulkan dampak negatif. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam “the Social Me,” di mana mereka lebih fokus pada bagaimana diri mereka dipandang oleh orang lain daripada menjadi “the Real Me.” Hal ini terlihat dari tren pembelian barang-barang mahal secara impulsif, yang sering kali didanai dengan sistem pembayaran “pay later.” Demi menjaga citra kesuksesan, mereka rela berutang atau mengorbankan kesehatan mental dan fisik mereka.
Menurut perspektif sosiologis, perilaku ini tidak sepenuhnya merupakan pilihan pribadi. Marcionis, dalam Seeing Personal Choice in the Social Context yang dikutip oleh Wirutomo (2022), menekankan bahwa keputusan individu sangat dipengaruhi oleh struktur sosial. Dalam konteks ini, tekanan sosial untuk terlihat sukses menjadi kekuatan besar yang mendorong Generasi Z terus berlari dalam lingkaran tanpa ujung.
Slow Living: Antitesis Fast Living
Slow living bukan berarti memperlambat segala aktivitas hingga menjadi tidak produktif, melainkan menemukan ritme hidup yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi diri sendiri. Dalam konteks ini, slow living lebih dekat dengan konsep meaningful living, yaitu hidup dengan makna.
Untuk Generasi Z, menjalani slow living dapat menjadi cara untuk:
- Melepaskan Tekanan Sosial: Menghindari obsesi akan penilaian orang lain dan tidak terlalu memikirkan FOPO (fear of other people’s opinions).
- Menemukan Jati Diri: Mengidentifikasi tujuan hidup yang autentik dan memisahkan antara apa yang benar-benar diinginkan dengan apa yang hanya dipengaruhi oleh tren sosial.
- Mengatur Ritme Pribadi: Berkompetisi bukan dengan orang lain, tetapi dengan diri sendiri di masa lalu, untuk mencapai versi terbaik dari diri mereka.
Slow living tidak berarti berhenti bekerja keras atau menjadi malas. Sebaliknya, ini tentang bekerja dengan cara yang lebih terencana, penuh fokus, dan sejalan dengan nilai-nilai pribadi.
Solusi untuk Gen Z: Beralih ke “Meaningful Living”
Untuk membantu Generasi Z menemukan keseimbangan antara fast living dan slow living, ada beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Melepaskan Diri dari “The Social Me”
Generasi Z perlu berhenti terobsesi pada citra diri yang dibuat untuk menyenangkan orang lain. Hidup yang bermakna tidak datang dari label sukses yang diberikan orang lain, tetapi dari pencapaian tujuan pribadi.
2. Fokus pada Ritme Pribadi
Menemukan ritme hidup sendiri bukan berarti menjadi lambat, tetapi bekerja dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan. Dengan cara ini, Generasi Z bisa mencapai keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental.
3. Melakukan Observasi dari Luar
Generasi Z perlu belajar untuk “menepi” sejenak dari perlombaan hidup, mengamati apa yang benar-benar penting bagi mereka, dan membangun standar sukses berdasarkan kebutuhan dan nilai pribadi.
4. Membangun Support System
Generasi sebelumnya, seperti Generasi X, Y, dan bahkan baby boomers, memiliki peran penting dalam mendampingi Generasi Z. Dengan memberikan dukungan moral, berbagi pengalaman, dan menjadi mentor, generasi tua dapat membantu Generasi Z memahami makna sukses yang lebih mendalam.
Menjembatani Fast Living dan Slow Living
Generasi Z berada di era yang menuntut mereka untuk terus bergerak cepat, tetapi itu bukan berarti mereka tidak bisa menyeimbangkan hidup dengan cara yang lebih bermakna. Memilih slow living bukan berarti meninggalkan ambisi, melainkan menciptakan ruang untuk refleksi dan pemaknaan.
Hidup bermakna tidak datang dari pencapaian materi atau citra sosial, tetapi dari pemahaman mendalam tentang tujuan hidup. Dengan mendukung Generasi Z dalam perjalanan ini, kita bisa membantu mereka menjadi generasi yang tidak hanya kuat secara mental dan fisik, tetapi juga bahagia dan puas dengan diri mereka sendiri. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa cepat kita mencapai tujuan, tetapi seberapa banyak kita menikmatinya di sepanjang perjalanan.
Baca juga artikel kesehatan lainnya.