Pakar kebencanaan Hijrah Saputra baru-baru ini menyoroti masalah serius terkait bencana ekologis di beberapa wilayah Sumatra, termasuk Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Cuaca ekstrem yang melanda kawasan tersebut telah menyebabkan banjir dan longsor yang mengakibatkan kerugian signifikan dalam hal korban jiwa dan kerusakan infrastruktur.
Salah satu faktor utama yang memicu bencana ini adalah meningkatnya curah hujan, yang diakibatkan oleh fenomena siklon tropis. Kejadian serupa juga terlihat di negara tetangga, Malaysia, yang menunjukkan betapa luasnya dampak dari perubahan iklim ini.
Hijrah mengungkapkan bahwa siklon tropis Senyar dan bibit siklon di Selat Malaka menjadi penyebab utama curah hujan ekstrem. Tanpa penanganan yang baik, potensi bencana serupa dapat terus mengancam di masa depan.
Ketidakstabilan Lingkungan Pengaruhi Kejadian Bencana
Salah satu isu sangat penting dalam konteks ini adalah kondisi lingkungan yang terus memburuk. Faktor-faktor seperti pemukiman yang dekat dengan sungai, lereng yang gundul, dan sistem drainase yang tidak memadai berkontribusi memperparah situasi. Bencana yang terjadi di Sumatra mengungkapkan betapa rawannya ekosistem yang ada.
Hijrah menyoroti bahwa penebangan pohon di daerah aliran sungai juga berperan signifikan dalam peningkatan risiko bencana. Pohon memiliki fungsi vital dalam menyimpan air tanah dan menstabilkan tanah, sehingga ketika pohon-pohon ini hilang, risiko longsor meningkat secara drastis.
Foto-foto dan video yang beredar di media sosial menunjukkan tumpukan kayu yang terdampar di bantaran sungai. Ini bukan hanya sekadar fenomena alam, tetapi juga menjadi bukti nyata dari aktivitas penebangan hutan yang intensif dan tidak terkendali.
Upaya Penanganan dan Respons Bencana
Meskipun situasi ini cukup mengkhawatirkan, Hijrah memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah cepat yang diambil oleh pemerintah. Evakuasi menggunakan helikopter dan kapal perang menunjukkan respons yang efisien dalam menghadapi bencana. Hal ini termasuk distribusi logistik dan pemulihan infrastruktur yang terputus.
Namun, di balik semua itu, masih terdapat banyak kekurangan dalam antisipasi jangka panjang. Sistem peringatan dini belum menjangkau wilayah terpencil, dan tata ruang yang berlaku masih belum disiplin. Di sinilah perlu adanya upaya lebih lanjut untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
Hijrah menyarankan agar antisipasi dibagi dalam tiga tahap. Pertama, fokus pada penanganan darurat dalam 72 jam pertama, kedua, audit kerusakan dan perbaikan infrastruktur, dan ketiga, rehabilitasi lingkungan yang lebih strategis.
Solusi Berkelanjutan untuk Mengatasi Dampak Bencana
Menghadapi kenyataan bahwa bencana ekologis ini bukan hanya sekadar takdir yang harus diterima, melainkan juga konsekuensi dari pengelolaan alam yang kurang baik, Hijrah menekankan perlunya ketahanan yang lebih baik. Ini mencakup disiplin tata ruang, tanggung jawab dalam pengelolaan ekosistem, dan pengembangan sistem peringatan dini yang terintegrasi.
Untuk mengurangi risiko di masa depan, Hijrah merekomendasikan beberapa langkah. Di antaranya adalah normalisasi sungai, reboisasi lereng yang gundul, dan integrasi mitigasi ke dalam rencana pembangunan daerah. Setiap langkah ini memerlukan dukungan dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah.
Oleh karena itu, pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan harus menjadi prioritas utama untuk mengurangi risiko bencana yang semakin meningkat. Upaya ini tidak hanya penting bagi keselamatan masyarakat, tetapi juga untuk keberlangsungan alam itu sendiri.
